Opini oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes
Alhamdulillah,
setelah tulisan saya sebelumnya berjudul "Lagunya
disebut tidak masalah, Sukatani bisa jadi Duta lagu Rakyat" (22
Februari 2025) menjadi viral dan mendapat perhatian luas dari berbagai media
yang masih objektif serta berani menyuarakan kepentingan rakyat, kini lagu yang
sarat dengan kritik sosial tersebut telah bebas dinyanyikan.
Sebagai
tindak lanjut dari diskusi sebelumnya, Kapolri Jenderal Sigit Listyo Prabowo
memberikan tawaran kepada dua personel band Sukatani, Novi Citra Indriyati
(Ovi/Twister Angel) dan Muhammad Syifa Al Lutfi (Ai/Alectroguy), untuk menjadi Duta Polri guna membantu memperbaiki
citra institusi Kepolisian. Walaupun ada sebagian netizen yang skeptis dan
menganggap tawaran ini sebagai jebakan, langkah dari Tribrata Satu (TB1),
sebagai pemimpin tertinggi Polri, tetap patut diapresiasi.
Tawaran ini
sekaligus membantah tindakan yang sempat dilakukan oleh Tim Siber Polda Jawa
Tengah, yang dikabarkan mendatangi personel band Sukatani. Sebelumnya, kedua
musisi ini kerap tampil dengan balaclava—penutup
kepala yang populer sejak Perang Krimea (1853–1856). Namun, akibat tekanan,
mereka akhirnya tampil dengan wajah terbuka dan menyampaikan permintaan maaf
atas viralnya lagu mereka. Di sisi lain, media yang berpihak pada pemerintah
serta buzzer politik terlihat melakukan doxxing
terhadap mereka.
Sejarah Pembreidelan Lagu di
Indonesia
Kasus
pembreidelan lagu yang terjadi baru-baru ini menjadi cerminan buruk bagi
demokrasi di Indonesia. Fenomena ini mengingatkan kita pada masa lalu,
khususnya di era Orde Lama dan Orde Baru, ketika kritik terhadap penguasa
sering kali dibungkam, termasuk melalui sensor terhadap karya seni dan budaya.
Di masa
lalu, akses masyarakat untuk menyampaikan ekspresi sangat terbatas. Saat media
konvensional dikendalikan oleh pemerintah, maka suara rakyat pun sulit
tersalurkan. Sepanjang sejarah, beberapa lagu telah dilarang beredar dengan
berbagai alasan, mulai dari lirik yang dianggap provokatif hingga dinilai tidak
sesuai dengan norma sosial.
Era Orde Lama (1959–1965)
- "Genjer-Genjer" – Lilis Suryani & Bing
Slamet (1960-an)
Lagu ini dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan setelah peristiwa G30S 1965, pemerintah Orde Baru melarang peredarannya. - "Paduka
yang Mulia" –
Lilis Suryani (1960-an)
Lagu ini juga sempat mendapatkan pembatasan. - Beberapa
lagu Koes Plus
dilarang karena musiknya yang dianggap terlalu kebarat-baratan dan kurang
mencerminkan budaya Indonesia.
Era Orde Baru (1966–1998)
- "Mimpi
di Siang Bolong" – Doel Sumbang (1970-an)
Lagu ini dianggap mengandung kritik terhadap pemerintahan Soeharto, termasuk isu korupsi dan manipulasi politik. - "Surat
untuk Wakil Rakyat" – Iwan Fals (1987)
Mengkritik anggota DPR yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik. - "Pak
Tua" –
Elpamas (1991)
Lagu ini menyindir pemimpin yang sudah uzur tetapi masih mempertahankan kekuasaan. Lagu ini dicekal dari radio dan video klipnya dilarang tayang di televisi nasional. - "Hati
yang Luka" –
Betharia Sonata (1988)
Lagu ini sempat dilarang karena dianggap terlalu cengeng dan dapat melemahkan semangat pembangunan nasional. - "Gelas-Gelas
Kaca" – Nia
Daniaty (1988)
Dilarang dengan alasan serupa. - "Bento"
& "Bongkar" – Iwan Fals (1991)
Lagu-lagu ini dilarang karena liriknya yang tajam mengkritik pemerintah, tetapi justru menjadi lagu wajib dalam demonstrasi hingga saat ini.
Era Reformasi
(1998–Sekarang)
- "Gossip
Jalanan" –
Slank (2004)
Lagu ini menggambarkan kondisi rakyat yang tertindas oleh pemerintah dan sempat dilarang karena dianggap dapat menimbulkan keresahan sosial. - "Cinta
Satu Malam" –
Melinda (2010) dan "Paling
Suka 69" – Julia Perez (2012)
Kedua lagu ini dilarang karena dianggap terlalu vulgar dan tidak sesuai dengan norma budaya ketimuran.
Menariknya,
beberapa lagu yang dulu dilarang kini justru semakin populer. Misalnya,
lagu-lagu Slank saat ini banyak diminati, bahkan lagu "Anak Mami
Mandiri" kerap dikaitkan dengan kritik terhadap keluarga Jokowi, terutama
Gibran dan Kaesang, yang dianggap hanya mengandalkan kekuasaan orang tua
mereka.
Pembreidelan
atau pelarangan lagu tidak serta-merta membuat lagu tersebut dilupakan, justru
sering kali membuatnya semakin terkenal. Hal ini juga berlaku untuk lagu "Bayar Bayar Bayar" dari
Sukatani, yang kini menjadi salah satu lagu wajib dalam aksi demonstrasi yang
menuntut kejelasan sikap pemerintah terhadap kepemimpinan Jokowi.
Kini,
setelah lagu tersebut dinyatakan tidak bermasalah dan bahkan penyanyinya
ditawari menjadi Duta Polri,
demokrasi di Indonesia harus terus diperjuangkan. Kebebasan berekspresi harus
tetap dijaga agar rakyat dapat menyuarakan aspirasi mereka dengan bebas.
*) - Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes – Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen