Category 4

Lagu "Bayar Bayar Bayar", Sukatani Menjadi "Duta Polri"

redaksi
24 Februari 2025, 00:37 WIB Last Updated 2025-02-24T08:37:16Z
Pasang iklan, promosi atau dukungan, hubungi: redaksi@berita62.my.id
Pasang iklan, promosi atau dukungan, hubungi: redaksi@berita62.my.id



Opini oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes

 

Alhamdulillah, setelah tulisan saya sebelumnya berjudul "Lagunya disebut tidak masalah, Sukatani bisa jadi Duta lagu Rakyat" (22 Februari 2025) menjadi viral dan mendapat perhatian luas dari berbagai media yang masih objektif serta berani menyuarakan kepentingan rakyat, kini lagu yang sarat dengan kritik sosial tersebut telah bebas dinyanyikan.

 

Sebagai tindak lanjut dari diskusi sebelumnya, Kapolri Jenderal Sigit Listyo Prabowo memberikan tawaran kepada dua personel band Sukatani, Novi Citra Indriyati (Ovi/Twister Angel) dan Muhammad Syifa Al Lutfi (Ai/Alectroguy), untuk menjadi Duta Polri guna membantu memperbaiki citra institusi Kepolisian. Walaupun ada sebagian netizen yang skeptis dan menganggap tawaran ini sebagai jebakan, langkah dari Tribrata Satu (TB1), sebagai pemimpin tertinggi Polri, tetap patut diapresiasi.

 

Tawaran ini sekaligus membantah tindakan yang sempat dilakukan oleh Tim Siber Polda Jawa Tengah, yang dikabarkan mendatangi personel band Sukatani. Sebelumnya, kedua musisi ini kerap tampil dengan balaclava—penutup kepala yang populer sejak Perang Krimea (1853–1856). Namun, akibat tekanan, mereka akhirnya tampil dengan wajah terbuka dan menyampaikan permintaan maaf atas viralnya lagu mereka. Di sisi lain, media yang berpihak pada pemerintah serta buzzer politik terlihat melakukan doxxing terhadap mereka.

 

Sejarah Pembreidelan Lagu di Indonesia

Kasus pembreidelan lagu yang terjadi baru-baru ini menjadi cerminan buruk bagi demokrasi di Indonesia. Fenomena ini mengingatkan kita pada masa lalu, khususnya di era Orde Lama dan Orde Baru, ketika kritik terhadap penguasa sering kali dibungkam, termasuk melalui sensor terhadap karya seni dan budaya.

 

Di masa lalu, akses masyarakat untuk menyampaikan ekspresi sangat terbatas. Saat media konvensional dikendalikan oleh pemerintah, maka suara rakyat pun sulit tersalurkan. Sepanjang sejarah, beberapa lagu telah dilarang beredar dengan berbagai alasan, mulai dari lirik yang dianggap provokatif hingga dinilai tidak sesuai dengan norma sosial.

 

Era Orde Lama (1959–1965)

  • "Genjer-Genjer" – Lilis Suryani & Bing Slamet (1960-an)
    Lagu ini dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan setelah peristiwa G30S 1965, pemerintah Orde Baru melarang peredarannya.
  • "Paduka yang Mulia" – Lilis Suryani (1960-an)
    Lagu ini juga sempat mendapatkan pembatasan.
  • Beberapa lagu Koes Plus dilarang karena musiknya yang dianggap terlalu kebarat-baratan dan kurang mencerminkan budaya Indonesia.

 

Era Orde Baru (1966–1998)

  • "Mimpi di Siang Bolong" – Doel Sumbang (1970-an)
    Lagu ini dianggap mengandung kritik terhadap pemerintahan Soeharto, termasuk isu korupsi dan manipulasi politik.
  • "Surat untuk Wakil Rakyat" – Iwan Fals (1987)
    Mengkritik anggota DPR yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik.
  • "Pak Tua" – Elpamas (1991)
    Lagu ini menyindir pemimpin yang sudah uzur tetapi masih mempertahankan kekuasaan. Lagu ini dicekal dari radio dan video klipnya dilarang tayang di televisi nasional.
  • "Hati yang Luka" – Betharia Sonata (1988)
    Lagu ini sempat dilarang karena dianggap terlalu cengeng dan dapat melemahkan semangat pembangunan nasional.
  • "Gelas-Gelas Kaca" – Nia Daniaty (1988)
    Dilarang dengan alasan serupa.
  • "Bento" & "Bongkar" – Iwan Fals (1991)
    Lagu-lagu ini dilarang karena liriknya yang tajam mengkritik pemerintah, tetapi justru menjadi lagu wajib dalam demonstrasi hingga saat ini.

 

Era Reformasi (1998–Sekarang)

  • "Gossip Jalanan" – Slank (2004)
    Lagu ini menggambarkan kondisi rakyat yang tertindas oleh pemerintah dan sempat dilarang karena dianggap dapat menimbulkan keresahan sosial.
  • "Cinta Satu Malam" – Melinda (2010) dan "Paling Suka 69" – Julia Perez (2012)
    Kedua lagu ini dilarang karena dianggap terlalu vulgar dan tidak sesuai dengan norma budaya ketimuran.

 

Menariknya, beberapa lagu yang dulu dilarang kini justru semakin populer. Misalnya, lagu-lagu Slank saat ini banyak diminati, bahkan lagu "Anak Mami Mandiri" kerap dikaitkan dengan kritik terhadap keluarga Jokowi, terutama Gibran dan Kaesang, yang dianggap hanya mengandalkan kekuasaan orang tua mereka.

 

Pembreidelan atau pelarangan lagu tidak serta-merta membuat lagu tersebut dilupakan, justru sering kali membuatnya semakin terkenal. Hal ini juga berlaku untuk lagu "Bayar Bayar Bayar" dari Sukatani, yang kini menjadi salah satu lagu wajib dalam aksi demonstrasi yang menuntut kejelasan sikap pemerintah terhadap kepemimpinan Jokowi.

 

Kini, setelah lagu tersebut dinyatakan tidak bermasalah dan bahkan penyanyinya ditawari menjadi Duta Polri, demokrasi di Indonesia harus terus diperjuangkan. Kebebasan berekspresi harus tetap dijaga agar rakyat dapat menyuarakan aspirasi mereka dengan bebas.

 

*) - Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes – Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen
Komentar

Tampilkan

Terkini