Opini oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Econom y and Policy Studies)
Kampanye Pemilihan Presiden 2014 berlangsung dari
pertengahan Maret sampai awal April 2014. Jokowi sesumbar akan membuat
pertumbuhan ekonomi meroket menjadi 7 persen. Ketika itu, pertumbuhan ekonomi
(2013) ‘hanya’ 5,56 persen.
Jokowi terpilih, dilantik 20 Oktober 2014. Jokowi langsung
memangkas subsidi, dari subsidi BBM, subsidi kereta ekonomi dan lainnya, untuk
dialihkan ke belanja infrastruktur. Kebijakan ini berakibat fatal. Tingkat
kemiskinan versi BPS naik dari 27,73 juta orang atau 10,96 persen pada
September 2014 menjadi 28,59 juta orang atau 11,22 persen dari populasi pada
Maret 2015. Indeks kedalaman dan indeks keparahan kemiskinan lebih buruk dari
tiga tahun sebelumnya.
Jangankan meroket, pertumbuhan ekonomi 2015 jeblok, hanya
4,88 persen. Ekonomi Indonesia sepanjang periode pertama Jokowi tidak mampu
bangkit, hanya ‘stabil’ di sekitar 5 persen saja: 5,03 persen (2016); 5,07
persen (2017); 5,17 persen (2018); 5,02 persen (2019).
Pertumbuhan ekonomi yang ‘stabil’ seperti ini, untuk jangka
waktu cukup lama, sangat tidak lazim, dan mengundang kecurigaan. Diduga ada
‘fabrikasi’ alias manipulasi terhadap angka pertumbuhan ekonomi tersebut. Hal
ini terlihat jelas dari data pertumbuhan ekonomi triwulanan. Dibandingkan
dengan pertumbuhan ekonomi Vietnam yang mengikuti pola business cycle
triwulanan, data pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat flat. Artinya, ‘too good
to be true’: terlalu naif untuk dapat dipercaya kebenarannya. Begitu juga kalau
dibandingkan dengan data pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 2005-2014 yang
cukup fluktuatif, mencerminkan data ekonomi seadanya tanpa ‘fabrikasi’,
pertumbuhan ekonomi 2015-2024 jelas sangat mencurigakan. Lihat gambar.
Ketidakpercayaan terhadap data ekonomi Indonesia juga
disampaikan oleh para ekonom luar negeri, antara lain Gareth Leather dari
Capital Economics yang berbasis di London dan Trinh Nguyen dari lembaga keuangan
yang berbasis di Hong Kong. Keduanya secara gamblang mengatakan tidak percaya
dengan data ekonomi Indonesia. Karena, menurut pengamatan internal mereka, data
ekonomi bulanan Indonesia sejak 2015 terus melemah.
Gareth Leather menyampaikan ini dalam tulisan yang berjudul:
Why we don’t trust Indonesia’s GDP data. Luar biasa. Judul tulisan yang sangat
berani dan penuh keyakinan, bahwa ada indikasi ‘fabrikasi’ data ekonomi
Indonesia. Trinh Nguyen juga terheran-heran dengan pertumbuhan ekonomi yang ‘stabil’
tersebut: “I don’t know how an economy can grow at the same rate for so long, …
“Gov spending is weak & investment slowing & imports contracting HARD.”
Hal yang sama juga sudah saya sampaikan sebelumnya:
https://www.neraca.co.id/article/124392/pertumbuhan-ekonomi-indonesia-dipertanyakan-asing-wajarkah
‘Fabrikasi’ data ekonomi sebenarnya sangat mudah dilakukan.
Ekonomi terdiri dari nilai nominal dan nilai riil. Nilai nominal berdasarkan
nilai transaksi (atas harga yang berlaku saat transaksi). Nilai riil
berdasarkan nilai transaksi atas harga konstan, yaitu bebas dari kenaikan harga
(dalam ekonomi dikenal dengan nama deflator). Pertumbuhan ekonomi dihitung
berdasarkan nilai riil. Konversi dari nilai nominal menjadi nilai riil
dilakukan dengan menghilangkan faktor kenaikan harga, menggunakan angka
deflator.
Dengan demikian, ‘fabrikasi’ pertumbuhan ekonomi cukup
dilakukan dengan cara memanipulasi kedua hal tersebut: nilai nominal dan angka
deflator untuk dapat memperoleh pertumbuhan ekonomi sesuai target yang
diinginkan.
‘Fabrikasi’ ekonomi dalam nilai nominal dilakukan pada data
produksi dan konsumsi. Pertama, ‘fabrikasi’ data produksi (penyediaan)
disesuaikan dengan target (pertumbuhan) yang diinginkan. Kedua, fabrikasi data
konsumsi, disesuaikan dengan data produksi tersebut. Ketiga, dalam hal konsumsi
tidak bisa menyerap produksi, dengan kata lain ada selisih, maka selisih
tersebut ditampung di ‘perubahan inventori’ dan ‘diskrepansi statistik’, yang
sebenarnya berfungsi seperti ‘keranjang sampah’: Produksi => Konsumsi =>
Perubahan Inventori + Diskrepansi Statistik.
Setelah itu, ‘fabrikasi’ pertumbuhan ekonomi cukup dilakukan
dengan memanipulasi angka deflator (indeks kenaikan harga), yang menjadi faktor
penentu besaran ekonomi nilai riil. Artinya, otak-atik angka deflator dapat
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang diinginkan, alias manipulatif.
Manipulasi data statistik ekonomi bukan hal baru. Banyak
negara di dunia diperkirakan melakukan manipulasi terhadap data ekonominya,
antara lain Argentina, Turki, Yunani, Itali, China dan lainnya.
https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09692290.2020.1769704#abstract
Ekonom India Arvind Subramanian, yang juga mantan penasehat
ekonomi pemerintah India, mengungkapkan pertumbuhan ekonomi India periode
2011-2016 terlalu tinggi sekitar 2,5 persen. Data resmi pemerintah India
mengatakan pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut mencapai rata-rata 7
persen per tahun. Tetapi menurut penelitian Arvind Subramanian, pertumbuhan
ekonomi India diperkirakan hanya sekitar 4,5 persen per tahun, dengan tingkat
kepercayaan 95 persen dan margin error 1 persen. Artinya, pertumbuhan ekonomi
India diperkirakan antara 3,5 persen sampai 5,5 persen saja. Jauh di bawah 7
persen seperti yang dipublikasi oleh Pemerintah India.
‘Fabrikasi’ data ekonomi yang terjadi selama ini akan
pengaruhi data ekonomi dan pertumbuhan ekonomi ke depan. Mungkin saja,
‘fabrikasi pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini terlalu tinggi sekitar 2
persen, sehingga pertumbuhan ekonomi sebenarnya hanya sekitar 3 persen. Kalau
margin error 0,5 persen artinya pertumbuhan ekonomi saat ini hanya 2,5 persen
sampai 3,5 persen saja. Dalam hal ini, angan-angan pertumbuhan ekonomi 8
persen, dari basis 3 persen, bisa-bisa hanya menjadi angan-angan saja.
--- 000 ---