Opini oleh: Muslim Arbi - Pengamat Hukum dan Politik
Dalam hitungan hari, publik disuguhi dua kabar berbeda yang sama-sama melibatkan kader Gerindra, tetapi berujung pada nasib yang kontras.
Di satu sisi, Immanuel Ebenezer alias Noel, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, ditangkap lewat operasi tangkap tangan (OTT) KPK, ditetapkan sebagai tersangka, langsung ditahan, dan tak lama kemudian diberhentikan Presiden Prabowo dari jabatannya.
Di sisi lain, muncul nama Nistra Yohan dalam persidangan kasus BTS 4G BAKTI sebagai pihak yang diduga menerima aliran dana hingga Rp70 miliar untuk jejaring Komisi I DPR. Namun hingga kini status hukumnya masih abu-abu. Pemanggilan berlarut, keberadaannya kerap dipertanyakan, dan tak jelas bagaimana kelanjutan proses hukumnya.
Kontras inilah yang melahirkan kesan publik bahwa ada standar ganda dalam penegakan hukum.
Penanganan terhadap Noel berlangsung cepat: KPK menemukan bukti segar dalam OTT, menetapkannya tersangka, dan Presiden pun segera bertindak dengan pencopotan. Dari sisi tata negara, langkah ini tepat dan mencerminkan disiplin birokrasi.
Namun perbandingan tak bisa dihindari. Mengapa Noel, yang juga kader partai, langsung dijerat dan dipenjara, sementara Nistra yang disebut menerima dana jauh lebih besar justru masih aman?
Dari perspektif hukum, perbedaannya bisa dijelaskan:
1. OTT KPK menghasilkan bukti langsung—uang, komunikasi, saksi—sehingga proses hukum berjalan cepat.
2. Kasus BTS di Kejaksaan Agung jauh lebih kompleks: jaringan pelaku luas, aliran dana berlapis, bukti bergantung pada keterangan persidangan, sehingga verifikasi butuh waktu.
Meski begitu, alasan prosedural saja tidak cukup. Minimnya komunikasi publik dari Kejagung justru menimbulkan kecurigaan adanya perlindungan politik.
Akibatnya, dua narasi politik berkembang di masyarakat:
Noel dianggap “orang Jokowi” yang sengaja disingkirkan dari kabinet Prabowo.
Atau, Noel disebut “bermain sendiri” tanpa berbagi keuntungan, sehingga dibiarkan jatuh.
Kedua narasi ini memang spekulatif. Faktanya, Noel ditangkap OTT dengan bukti kuat, dan Presiden hanya menjalankan prosedur hukum. Namun karena kasus Nistra seolah tak bergerak, spekulasi itu makin menguat.
Bagi Gerindra, ini ujian serius. Apakah partai akan membiarkan publik melihat adanya perlakuan berbeda di antara kadernya, atau berani menegakkan standar etik yang sama untuk semua?
Bagi pemerintah, pencopotan Noel hanyalah langkah awal. Yang lebih penting adalah konsistensi: transparansi penanganan kasus korupsi di semua lini, bukan hanya pada satu orang.
Bagi DPR, khususnya Komisi I, keterlibatan tenaga ahli dalam pusaran korupsi BTS harus menjadi alarm keras. Pengawasan internal seharusnya dijalankan, bukan malah menunggu kasus tenggelam.
Agar tidak lahir persepsi “dua standar hukum,” ada sejumlah agenda yang perlu dilakukan:
1. Kejagung harus terbuka soal status hukum Nistra—apakah masih saksi, calon tersangka, atau menunggu bukti tambahan.
2. KPK dan Kejagung harus berkoordinasi, karena kasus BTS melibatkan kerugian negara sangat besar.
3. Gerindra wajib menegakkan disiplin internal, tidak tebang pilih antar kader.
4. Reformasi sistem perlu segera dilakukan, baik di Kemenaker maupun sektor digital, untuk mencegah ruang rente dan korupsi berulang.
Pemberhentian Noel memang sinyal tegas dari Presiden. Tetapi sinyal itu akan kehilangan makna jika tidak dibarengi konsistensi pada kasus lain. Publik kini menunggu: apakah hukum akan ditegakkan sama rata, baik untuk Noel maupun Nistra, ataukah ada yang tetap “aman” karena kedekatan politik?
Pada akhirnya, yang dibutuhkan republik ini bukan kambing hitam atau tumbal politik, melainkan kepastian hukum yang adil, transparan, dan setara bagi siapa pun.